Minggu, 27 September 2009

INGGIT GARNASIH

INGGIT GARNASIH DAN BATU PIPISA
Oleh: Eddy Sunarto



Bila kita mendengar kata Inggit Garnasih, tentu ingatan kita dibawa pada peran dan sepak terjang dari Soekarno Presiden Pertama di negeri ini. Hal ini patut dimaklumi, karena tokoh Soekarno ini tidak lepas dari peran dari Inggit Garnasih yang ikut berperan dalam pembentukan karakter kejuangan, nasionalisme, dan patriotisme Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan baik Belanda maupun hasrat Jepang yang ingin menguasai negeri ini. Untuk menyambut peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember 2008 ini, penulis mencoba mengetengahkan salah satu tokoh nasional perempuan yang gigih ikut mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabat sebagai seorang perempuan-ibu pendamping suami. Hal ini perlu dipaparkan, agar masyarakat Bandung dan sekitarnya ataupun yang ada di Jawa Barat mengenal, dan dapat mengambil sari teladan dari peran yang diambil oleh seorang tokoh Inggit Garnasih. Emansipasi perempuan sering menjadi perdebatan yang berkepanjangan, dari sisi manakah kaum perempuan dapat mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal itupula, Badan Pahlawan Daerah Jawa Barat dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Barat mencoba melakukan seminar nasional ‘menggugat peran dan perjuangan Inggit Ganasih’, dengan tema “Pengusulan Ibu Inggit Garnasih sebagai Pahlawan Nasional” yang akan diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 2008 di Museum Negeri Jawa Barat ‘Sri Baduga” Bandung. Seminar nasional itu akan menghadirkan pakar sejarah, yaitu Prof. Dr. Taufik Abdullah (Ketua MSI Pusat), Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M. Hum, Drs. Andi Suwirta, M. Hum., dengan dipandu moderator Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M.S. Mudah-mudahan seminar tersebut akan menghasilkan rumusan guna pengusungan Ibu Inggit Garnasih sebagai Pahlawan Nasional.
Inggit Garnasih, seorang tokoh nasionalis yang dengan setia mendampingi Soekarno baik suka maupun duka, yang dapat disejajarkan dengan Kartini ataupun Dewi Sartika dengan peranannya masing-masing.
Garnasih lahir di tatar Sunda bumi parahyangan tepatnya di Desa Kamasan Banjaran Kab. Bandung 17 Februari 1888, dari pasangan Bapak Ardjipan dan Ibu Amsi. Nama itu diberikan dengan penuh makna dan harapan, kelak menjadi anak yang hegar, segar, menghidupkan dan penuh kasih sayang.
Harapan itu menjadi kenyataan, menginjak dewasa Garnasih menjadi seorang remaja putri yang cantik dan menarik, sehingga kemanapun ia pergi selalu menjadi perhatian masyarakat sekitar terutama para pemuda. Di antara mereka sering melontarkan kata-kata “mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit” (pada saat itu 1 ringgit sama dengan 2,5 Gulden Belanda dan nilainya masih sangat tinggi) yang akhirnya julukan inilah yang kelak merangkai namanya menjadi Inggit Garnasih. Pada usia 12 tahun (1900) Inggit Garnasih sudah memasuki gerbang perkawinan pertamanya dengan seorang pria bernama Nata Atmadja yang menyandang jabatan sebagai Patih pada Kantor Residen Belanda. Namun sayang perkawinannya tidak lama, berakhir dengan perpisahan.
Tidak lama kemudian, Inggit dilamar oleh H. Sanoesi seorang pedagang kaya dan sukses, beliau juga seorang tokoh organisasi perjuangan Sarekat Islam Jawa Barat dan merupakan salah satu kepercayaan H.O.S Tjokroaminoto ketua umum Sarekat Islam di Surabaya. Bagi Inggit, perkawinan keduanya ini merupakan awal kehidupan memasuki dunia politik dan pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Pada waktu dilaksanakannya Kongres Sarekat Islam tahun 1916, Inggit dipercaya untuk memimpin dapur umum, mengatur dan menerima undangan bagi seluruh peserta kongres yang datang dari seluruh tanah air.
Kehidupan rumah tangga Inggit dengan H. Sanoesi berjalan dengan mulus dan penuh kasih sayang, sampai ketika seorang pemuda bernama Soekarno datang dengan berbekal surat dari H.O.S Tjokroaminoto untuk meminta keluarga H. Sanoesi dapat menerima Soekarno tinggal di rumahnya sebagai anak indekosan dalam rangka studi di HTS yang sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada saat itu Soekarno sudah “nikah gantung” dengan Oetari putri dari H.O.S Tjokroaminoto, namun dalam kehidupan sehari-harinya Oetari hanya dianggap adik oleh Soekarno bukan sebagai istri.
Cinta adalah anugrah sekaligus misteri, datang dan pergi tidak pernah kita ketahui, hal ini pulalah yang kemudian menjadikan prahara dan badai cinta di antara H. Sanoesi, Soekarno, dan Inggit. Soekarno jatuh cinta pada Inggit begitu juga sebaliknya. Namun dilandasi pengertian yang luhur dan keikhlasan yang suci akhirnya badai itu dapat diselesaikan dengan baik.
Penyelesaian dan kesepakatan antara ketiganya ibarat sebuah mimpi dalam kenyataan, H. Sanoesi dengan segala keiklasan hatinya menceraikan Inggit yang dikasihinya demi tujuan luhur untuk mendampingi Soekarno yang diyakininya kelak akan memimpin dan memerdekakan Bangsa Indonesia. Sedangkan Oetari oleh soekarno diceraikan dan dikembalikan secara baik-baik kepada H.O.S Tjokroaminoto. Yang menarik dalam peristiwa, adalah pada saat itu H. Sanusi bersama Soekarno menandatangani surat perjanjian, yang berisi bahwa bila dalam 10 bulan Soekarno menelantarkan atau menyakiti Inggit Garnasih, maka Soekarno harus mengembalikan Inggit Garnasih kepada H. Sanusi. Ini menunjukan H. Sanusi dalam hatinya masih mencintai dan menyayangi Inggit Garnasih. Sdr. Tito Zeni H. (cucu Inggit Garnasih) sempat membaca Surat Perjanjian tersebut, tetapi sekarang sudah tidak ada pada beliau. Surat Perjanjian tersebut kemungkinan sekarang tersimpan di Museum Idayu, milik H. Mas Agung, yang menaruh perhatian pada kejuangan Inggit Garnasih dan Soekarno.
Tanggal 24 Maret 1923, Inggit dan Seokarno menikah. Dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno 24 tahun tetapi yang sebenarnya baru berumur 22 tahun, sedangkan usia Inggit tercantum 23 tahun yang sebenarnya telah berusia 35 tahun. “Ngkus”, itulah panggilan sayang Inggit pada Soekarno. Baginya, Soekarno adalah suami, guru, mitra perjuangan sekaligus kekasih, Begitupun sebaliknya bagi Soekarno, Inggit adalah istri, mitra dalam berjuang, kekasih dan sekaligus merupakan sosok “ibu” yang memberikan air kehidupan penyejuk jiwa. Kondisi inilah yang menjadi jiwa Soekarno tetap kokoh dan semangat menjalani suka duka dalam perjuangan.
Mendampingi Soekarno, Inggit memasuki dunia politik dan pergerakan Kemerdekaan Indonesia yang lebih luas, di antaranya:
• Saksi saat pembicaraan dan perdebatan awal sampai melahirkan Peserikatan Indonesia yang kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI), 4 Juli 1927.
• Mendampingi Soekarno dalam setiap perjalanan diskusi dan perdebatan yang dilaksanakan di rumahnya maupun ke berbagai kota dalam rangka menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan Indonesia, dan turut aktif dalam pembentukan kader-kader.
• Membantu untuk mencari dan mengirim data serta dokumen untuk referensi Soekarno dalam menyusun pembelaan (pleydoi) atas tuduhan subversi oleh Belanda. Soekarno menyusun pleydoi ketika dan selama dipenjara di Banceuy Bandung. Dengan sekuat tenaga dan dengan berbagai cara akhirnya Inggit dapat menyelundupkan berbagai berita, buku, dokumen juga informasi situasi yang berkembang di luar penjara. Jerih payah Inggit membuahkan hasil, dan akhirnya Soekarno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal dengan judul “Indonesia Menggugat”.dan dibacakan di Landraad (sekarang disebut Gedung Indonesia Menggugat) Bandung pada tanggal 18 Agustus 1930. Meskipun pembelaan sangat bagus, lugas, dan argumentatif, Soekarno dan teman-temannya tetap mendapat hukuman dan dipenjara di Sukamiskin.
• Baru 8 bulan menghirup udara bebas dari penjara Sukamiskin, pada tanggal 1 Agustus 1932, Soekarno ditangkap lagi dengan tuduhan yang sama tanpa ada proses pengadilan dan dibuang ke Ende-Flores. Lima tahun kemudian dipindahkan ke Kota Bengkulu karena alas an kesehatan Soekarno yang terkena sakit malaria.
Pederitaan demi penderitaan menerpa Inggit Garnasih, tetapi beliu tetap setia dan gigih menampingi dan selalu memberikan dorongan dan semangat kepada suaminya, yaitu Soekarno yang sekaligus seorang tokoh perjuangan kemerdekaan. Seringkali Inggit dengan ditemani anaknya Ratna Juami (Omi) harus berjalan kaki karena tidak ada uang untuk ongkos dari Bandung ke Sukamiskin yang jaraknya belasan kilometer. Pada waktu Soekarno dimasukan ke penjara tersebut, Inggit mengalami kesulitan untuk menemui Soekarno, tetapi dengan kegigihannya dapat bertemu. Pertemuan ini merupakan awal kesibukan baru Inggit untuk melayani semua keperluan suaminya dalam penjara dan bekerja mencari uang untuk kebutuhan hidupnya, Inggit Garnasih berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan Soekarno di penjara dengan cara menjahit baju, menjual kutang, bedak, rokok dan menjadi agen sabun dan cangkul walaupun kecil-kecilan, disamping berjualan bedak dan jamu sebagai mata pencaharian pokok.
Mata pencaharian rutin yang dilakukan Inggit Garnasih adalah dengan berjualan bedak dan jamu yang diramunya sendiri. Pembuatan jamu atau bedak itu Inggit Garnasih selalu menggunakan dua batu pipisannya.
Mencari nafkah tersebut Inggit Garnasih berjuang sendiri, tetapi kadang-kadang dibantu oleh anak angkatnya yaitu Ratna Juami (omi), sedangkan Soekarno sendiri selaku kepala rumah tangga hampir tidak sempat bekerja untuk menghidupi atau memberikan nafkah lahir kepada istri dan anaknya. Hal ini, Inggit dapat dimakluminya, karena Soekarno disibukan dengan memberikan ceramah pada pendidikan atau kursus politik kepada para pejuang baik diminta oleh kelompok pejuang atau inisiatif sendiri dengan mengumpulkan para pejuang di rumah Inggit Garnasih di jalan Ciateul 8 Bandung (sejak tahun 1997 berganti nama jalan Ibu Inggit Garnasih). Disamping itu, Sokarno aktif dengan berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan dengan tujuan untuk kemerdekaan Indonesia.
Di rumah Inggit Garnasih inilah sering sekali digunakan sebagai base camp para pejuang pelopor kemerdekaan yang tidak asing lagi di sejarah Indonesia, seperti Suyudi, Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro, HOS Tjokroaminoto, Kyai Haji Mas Mansur, Sartono, Hatta, Moh. Yamin, Ali Sastro, Asmara Hadi, Ibu Trimurti, Otto Iskandardinata, Dr. Soetomo, M.H. Thamrin, Abdoel Muis, Sosro Kartono (kakak dari Ibu Kartini), dan lainnya saling adu intelektual untuk menciptakan satu rasa dalam membangun bangsa, mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi Negara Indonesia. Bagi para pejuang kemerdekaan dan rakyat Indonesia mempunyai ikatan batin dengan tempat tersebut.
Di sinilah keikhlasan dan ketulusan Inggit Garnasih bersuamikan Soekarno, seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang penuh energik, dan memiliki rasa nasionalisme serta patriotisme yang tinggi dan tidak diragukan lagi oleh Inggit Garnasih dan teman-teman seperjuangannya. Untuk keperluan para pejuang tersebut, seperti makan, minum, sajian, dan ongkos dan sebagainya, tokoh Inggit Garnasih inilah yang selau setia, sabar, penuh ketulusan, dan jiwa nasionalisme serta patriotisme Inggit Ganasih mencari nafkah dengan berjualan jamu dan bedak dengan dibantu 2 buah batu pipisan.
Begitu besarnya peran dari dua batu pipisan jamu dan bedak ini. Kita bisa berseloroh, bahwa perjuangan Soekarno dan rekan-rekannya dalam perjuangannya untuk menggapai kemerdekaan Indonesia pernah bergantung pada dua bongkah batu pipisan berikut gandiknya. Pada dua batu pipisan inilah tokoh Inggit Garnasih menggantungkan hidupnya demi kelangsungan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui perjuangan tokoh Soekarno, tokoh proklamator Bangsa Indonesia dan beberapa tokoh pejuang lainnya.
Batu pipisan ini berbentuk lempengan bersegi empat, terbuat dari batu kali, berwarna abu-abu kehitaman, begitu juga dua gandik yang menyertainya. Pada bagian permukaan pipisan memiliki pahatan-pahatan agar bahan bedak atau ramuan jamu tergerus dengan baik, seksama dan menghasilkan bedak atau jamu yang halus lembut. Kedua pasangan alat produksi bedak dan jamu itu sekarang masih dalam kondisi utuh, sekarang dijaga dan disimpan baik di rumah Sdr. Tito Zeni H. Bila memperhatikan nilai instrinsik maupun ekstrinsiknya kedua batu pipisan dan gandiknya tersebut, termasuk dalam kategori Benda Cagar Budaya, karena telah memiliki umur lebih dari 50 tahun dan memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Setelah beberapa tahun menjalani hukuman pembuangan di Bengkulu, rumah tangga Soekarno dan Inggit Garnasih goyah dan tidak bisa diselamatkan. Soekarno tertarik pada Fatma (Fatmawati) yang akhirnya Soekarno menyampaikan pada Inggit keinginannya menikahi Fatma dengan alasan menginginkan keturunan. Pada waktu itu sebenarnya tidak terbersit ada dalam pikiran Soekarno untuk menceraikan Inggit yang telah mendampinginya dalam perjuangan selama 20 tahun, akan tetapi Inggit tetap berpegang pada pendiriannya tidak mau dimadu. Inggit tidak berhasil menyelamatkan kemelut rumah tangga, akhirnya memutuskan untuk merelakan suaminya yang dikasihi dan yang ia bela mati-matian dalam suka dan dukanya mengarungi perjuangan demi kemerdekaan Bangsa Indonesia, untuk menikah dengan Fatma.
Di usia senjanya Inggit Garnasih hidup dengan tenang, beliau banyak dijadikan tempat bertanya dari berbagai kalangan baik tua ataupun muda. Inggit selalu menasehati para tamunya bahwa dalam menjalankan kehidupan hendaknya selalu membela rakyat dan harus selalu menjaga harkat dan harga diri sebagai bangsa yang besar. Kepada kaum wanita ia selalu berpesan untuk selalu menjadi pendamping suami yang setia, berani dan mandiri.
Beberapa hari setelah meninggalnya Soekarno, di sebuah majalah, ditulis berita tentang harta peninggalan Soekarno, pada waktu itu datang seorang wartawan menanyakan kepada Inggit “Apa yang ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak”. Inggit menjawab: “Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat dan untuk semua keturunan bangsa kita”. Sejenak wartawan terdiam, kemudian kembali bertanya: “Yang saya maksudkan harta pusaka untuk ibu pribadi”. Inggit menjawab: “Kenangan yang tak terlupakan, disimpan di dalam hati, yang akan menemani Ibu masuk ke dalam kubur”.
Kedua jawaban itu sangat tepat, kalau ada harta yang Soekarno tinggalkan, yang pasti adalah kemerdekaan kita semua yang hidup, dan untuk generasi yang akan datang. Jawaban kedua pun sangat tepat, tidak ada orang lain, tidak ada wanita lain, yang memiliki kenangan seindah kenangan Inggit dengan Soekarno.
Di saat menjelang akhir hidupnya, ketika mengalami sakit yang agak parah karena usia lanjut, Inggit Garnasih menunjukan dirinya seorang wanita yang berbudi luhur dan berjiwa besar. Keinginannya untuk bertemu dengan Fatmawati, sedangkan ketika itu istri Soekarno yang lain seperti Hartini dan Ariyati sudah sering mengunjunginya.
Atas prakarsa Ali Sadikin, keinginan Inggit terpenuhi, pada tanggal 7 Februari 1980 terjadilah pertemuan antara seorang ibu dengan seorang yang pernah diakui sebagai anak yang kemudian saling bersaing untuk mendapatkan kasih sayang dari Soekarno. Pertemuan itu sangat mengharukan, keduanya saling berpelukan, dengan menangis Fatmawati meminta maaf, dengan ketulusan dan kebesaran jiwa Inggit Garnasih memaafkannya. Beberapa tahun kemudian Inggit Garnasih wafat, yaitu pada tanggal 13 April 1984 dan dimakamkan di Pemakaman Umum PORIB, tepatnya di Jl. Makam Caringin - Kopo Bandung.

Penulis : Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jabar dan
Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Jabar Banten
Karyawan Disparbud Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar