Minggu, 27 September 2009

INGGIT GARNASIH

INGGIT GARNASIH DAN BATU PIPISA
Oleh: Eddy Sunarto



Bila kita mendengar kata Inggit Garnasih, tentu ingatan kita dibawa pada peran dan sepak terjang dari Soekarno Presiden Pertama di negeri ini. Hal ini patut dimaklumi, karena tokoh Soekarno ini tidak lepas dari peran dari Inggit Garnasih yang ikut berperan dalam pembentukan karakter kejuangan, nasionalisme, dan patriotisme Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan baik Belanda maupun hasrat Jepang yang ingin menguasai negeri ini. Untuk menyambut peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember 2008 ini, penulis mencoba mengetengahkan salah satu tokoh nasional perempuan yang gigih ikut mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabat sebagai seorang perempuan-ibu pendamping suami. Hal ini perlu dipaparkan, agar masyarakat Bandung dan sekitarnya ataupun yang ada di Jawa Barat mengenal, dan dapat mengambil sari teladan dari peran yang diambil oleh seorang tokoh Inggit Garnasih. Emansipasi perempuan sering menjadi perdebatan yang berkepanjangan, dari sisi manakah kaum perempuan dapat mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal itupula, Badan Pahlawan Daerah Jawa Barat dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Barat mencoba melakukan seminar nasional ‘menggugat peran dan perjuangan Inggit Ganasih’, dengan tema “Pengusulan Ibu Inggit Garnasih sebagai Pahlawan Nasional” yang akan diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 2008 di Museum Negeri Jawa Barat ‘Sri Baduga” Bandung. Seminar nasional itu akan menghadirkan pakar sejarah, yaitu Prof. Dr. Taufik Abdullah (Ketua MSI Pusat), Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M. Hum, Drs. Andi Suwirta, M. Hum., dengan dipandu moderator Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M.S. Mudah-mudahan seminar tersebut akan menghasilkan rumusan guna pengusungan Ibu Inggit Garnasih sebagai Pahlawan Nasional.
Inggit Garnasih, seorang tokoh nasionalis yang dengan setia mendampingi Soekarno baik suka maupun duka, yang dapat disejajarkan dengan Kartini ataupun Dewi Sartika dengan peranannya masing-masing.
Garnasih lahir di tatar Sunda bumi parahyangan tepatnya di Desa Kamasan Banjaran Kab. Bandung 17 Februari 1888, dari pasangan Bapak Ardjipan dan Ibu Amsi. Nama itu diberikan dengan penuh makna dan harapan, kelak menjadi anak yang hegar, segar, menghidupkan dan penuh kasih sayang.
Harapan itu menjadi kenyataan, menginjak dewasa Garnasih menjadi seorang remaja putri yang cantik dan menarik, sehingga kemanapun ia pergi selalu menjadi perhatian masyarakat sekitar terutama para pemuda. Di antara mereka sering melontarkan kata-kata “mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit” (pada saat itu 1 ringgit sama dengan 2,5 Gulden Belanda dan nilainya masih sangat tinggi) yang akhirnya julukan inilah yang kelak merangkai namanya menjadi Inggit Garnasih. Pada usia 12 tahun (1900) Inggit Garnasih sudah memasuki gerbang perkawinan pertamanya dengan seorang pria bernama Nata Atmadja yang menyandang jabatan sebagai Patih pada Kantor Residen Belanda. Namun sayang perkawinannya tidak lama, berakhir dengan perpisahan.
Tidak lama kemudian, Inggit dilamar oleh H. Sanoesi seorang pedagang kaya dan sukses, beliau juga seorang tokoh organisasi perjuangan Sarekat Islam Jawa Barat dan merupakan salah satu kepercayaan H.O.S Tjokroaminoto ketua umum Sarekat Islam di Surabaya. Bagi Inggit, perkawinan keduanya ini merupakan awal kehidupan memasuki dunia politik dan pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Pada waktu dilaksanakannya Kongres Sarekat Islam tahun 1916, Inggit dipercaya untuk memimpin dapur umum, mengatur dan menerima undangan bagi seluruh peserta kongres yang datang dari seluruh tanah air.
Kehidupan rumah tangga Inggit dengan H. Sanoesi berjalan dengan mulus dan penuh kasih sayang, sampai ketika seorang pemuda bernama Soekarno datang dengan berbekal surat dari H.O.S Tjokroaminoto untuk meminta keluarga H. Sanoesi dapat menerima Soekarno tinggal di rumahnya sebagai anak indekosan dalam rangka studi di HTS yang sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada saat itu Soekarno sudah “nikah gantung” dengan Oetari putri dari H.O.S Tjokroaminoto, namun dalam kehidupan sehari-harinya Oetari hanya dianggap adik oleh Soekarno bukan sebagai istri.
Cinta adalah anugrah sekaligus misteri, datang dan pergi tidak pernah kita ketahui, hal ini pulalah yang kemudian menjadikan prahara dan badai cinta di antara H. Sanoesi, Soekarno, dan Inggit. Soekarno jatuh cinta pada Inggit begitu juga sebaliknya. Namun dilandasi pengertian yang luhur dan keikhlasan yang suci akhirnya badai itu dapat diselesaikan dengan baik.
Penyelesaian dan kesepakatan antara ketiganya ibarat sebuah mimpi dalam kenyataan, H. Sanoesi dengan segala keiklasan hatinya menceraikan Inggit yang dikasihinya demi tujuan luhur untuk mendampingi Soekarno yang diyakininya kelak akan memimpin dan memerdekakan Bangsa Indonesia. Sedangkan Oetari oleh soekarno diceraikan dan dikembalikan secara baik-baik kepada H.O.S Tjokroaminoto. Yang menarik dalam peristiwa, adalah pada saat itu H. Sanusi bersama Soekarno menandatangani surat perjanjian, yang berisi bahwa bila dalam 10 bulan Soekarno menelantarkan atau menyakiti Inggit Garnasih, maka Soekarno harus mengembalikan Inggit Garnasih kepada H. Sanusi. Ini menunjukan H. Sanusi dalam hatinya masih mencintai dan menyayangi Inggit Garnasih. Sdr. Tito Zeni H. (cucu Inggit Garnasih) sempat membaca Surat Perjanjian tersebut, tetapi sekarang sudah tidak ada pada beliau. Surat Perjanjian tersebut kemungkinan sekarang tersimpan di Museum Idayu, milik H. Mas Agung, yang menaruh perhatian pada kejuangan Inggit Garnasih dan Soekarno.
Tanggal 24 Maret 1923, Inggit dan Seokarno menikah. Dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno 24 tahun tetapi yang sebenarnya baru berumur 22 tahun, sedangkan usia Inggit tercantum 23 tahun yang sebenarnya telah berusia 35 tahun. “Ngkus”, itulah panggilan sayang Inggit pada Soekarno. Baginya, Soekarno adalah suami, guru, mitra perjuangan sekaligus kekasih, Begitupun sebaliknya bagi Soekarno, Inggit adalah istri, mitra dalam berjuang, kekasih dan sekaligus merupakan sosok “ibu” yang memberikan air kehidupan penyejuk jiwa. Kondisi inilah yang menjadi jiwa Soekarno tetap kokoh dan semangat menjalani suka duka dalam perjuangan.
Mendampingi Soekarno, Inggit memasuki dunia politik dan pergerakan Kemerdekaan Indonesia yang lebih luas, di antaranya:
• Saksi saat pembicaraan dan perdebatan awal sampai melahirkan Peserikatan Indonesia yang kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI), 4 Juli 1927.
• Mendampingi Soekarno dalam setiap perjalanan diskusi dan perdebatan yang dilaksanakan di rumahnya maupun ke berbagai kota dalam rangka menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan Indonesia, dan turut aktif dalam pembentukan kader-kader.
• Membantu untuk mencari dan mengirim data serta dokumen untuk referensi Soekarno dalam menyusun pembelaan (pleydoi) atas tuduhan subversi oleh Belanda. Soekarno menyusun pleydoi ketika dan selama dipenjara di Banceuy Bandung. Dengan sekuat tenaga dan dengan berbagai cara akhirnya Inggit dapat menyelundupkan berbagai berita, buku, dokumen juga informasi situasi yang berkembang di luar penjara. Jerih payah Inggit membuahkan hasil, dan akhirnya Soekarno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal dengan judul “Indonesia Menggugat”.dan dibacakan di Landraad (sekarang disebut Gedung Indonesia Menggugat) Bandung pada tanggal 18 Agustus 1930. Meskipun pembelaan sangat bagus, lugas, dan argumentatif, Soekarno dan teman-temannya tetap mendapat hukuman dan dipenjara di Sukamiskin.
• Baru 8 bulan menghirup udara bebas dari penjara Sukamiskin, pada tanggal 1 Agustus 1932, Soekarno ditangkap lagi dengan tuduhan yang sama tanpa ada proses pengadilan dan dibuang ke Ende-Flores. Lima tahun kemudian dipindahkan ke Kota Bengkulu karena alas an kesehatan Soekarno yang terkena sakit malaria.
Pederitaan demi penderitaan menerpa Inggit Garnasih, tetapi beliu tetap setia dan gigih menampingi dan selalu memberikan dorongan dan semangat kepada suaminya, yaitu Soekarno yang sekaligus seorang tokoh perjuangan kemerdekaan. Seringkali Inggit dengan ditemani anaknya Ratna Juami (Omi) harus berjalan kaki karena tidak ada uang untuk ongkos dari Bandung ke Sukamiskin yang jaraknya belasan kilometer. Pada waktu Soekarno dimasukan ke penjara tersebut, Inggit mengalami kesulitan untuk menemui Soekarno, tetapi dengan kegigihannya dapat bertemu. Pertemuan ini merupakan awal kesibukan baru Inggit untuk melayani semua keperluan suaminya dalam penjara dan bekerja mencari uang untuk kebutuhan hidupnya, Inggit Garnasih berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan Soekarno di penjara dengan cara menjahit baju, menjual kutang, bedak, rokok dan menjadi agen sabun dan cangkul walaupun kecil-kecilan, disamping berjualan bedak dan jamu sebagai mata pencaharian pokok.
Mata pencaharian rutin yang dilakukan Inggit Garnasih adalah dengan berjualan bedak dan jamu yang diramunya sendiri. Pembuatan jamu atau bedak itu Inggit Garnasih selalu menggunakan dua batu pipisannya.
Mencari nafkah tersebut Inggit Garnasih berjuang sendiri, tetapi kadang-kadang dibantu oleh anak angkatnya yaitu Ratna Juami (omi), sedangkan Soekarno sendiri selaku kepala rumah tangga hampir tidak sempat bekerja untuk menghidupi atau memberikan nafkah lahir kepada istri dan anaknya. Hal ini, Inggit dapat dimakluminya, karena Soekarno disibukan dengan memberikan ceramah pada pendidikan atau kursus politik kepada para pejuang baik diminta oleh kelompok pejuang atau inisiatif sendiri dengan mengumpulkan para pejuang di rumah Inggit Garnasih di jalan Ciateul 8 Bandung (sejak tahun 1997 berganti nama jalan Ibu Inggit Garnasih). Disamping itu, Sokarno aktif dengan berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan dengan tujuan untuk kemerdekaan Indonesia.
Di rumah Inggit Garnasih inilah sering sekali digunakan sebagai base camp para pejuang pelopor kemerdekaan yang tidak asing lagi di sejarah Indonesia, seperti Suyudi, Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro, HOS Tjokroaminoto, Kyai Haji Mas Mansur, Sartono, Hatta, Moh. Yamin, Ali Sastro, Asmara Hadi, Ibu Trimurti, Otto Iskandardinata, Dr. Soetomo, M.H. Thamrin, Abdoel Muis, Sosro Kartono (kakak dari Ibu Kartini), dan lainnya saling adu intelektual untuk menciptakan satu rasa dalam membangun bangsa, mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi Negara Indonesia. Bagi para pejuang kemerdekaan dan rakyat Indonesia mempunyai ikatan batin dengan tempat tersebut.
Di sinilah keikhlasan dan ketulusan Inggit Garnasih bersuamikan Soekarno, seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang penuh energik, dan memiliki rasa nasionalisme serta patriotisme yang tinggi dan tidak diragukan lagi oleh Inggit Garnasih dan teman-teman seperjuangannya. Untuk keperluan para pejuang tersebut, seperti makan, minum, sajian, dan ongkos dan sebagainya, tokoh Inggit Garnasih inilah yang selau setia, sabar, penuh ketulusan, dan jiwa nasionalisme serta patriotisme Inggit Ganasih mencari nafkah dengan berjualan jamu dan bedak dengan dibantu 2 buah batu pipisan.
Begitu besarnya peran dari dua batu pipisan jamu dan bedak ini. Kita bisa berseloroh, bahwa perjuangan Soekarno dan rekan-rekannya dalam perjuangannya untuk menggapai kemerdekaan Indonesia pernah bergantung pada dua bongkah batu pipisan berikut gandiknya. Pada dua batu pipisan inilah tokoh Inggit Garnasih menggantungkan hidupnya demi kelangsungan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui perjuangan tokoh Soekarno, tokoh proklamator Bangsa Indonesia dan beberapa tokoh pejuang lainnya.
Batu pipisan ini berbentuk lempengan bersegi empat, terbuat dari batu kali, berwarna abu-abu kehitaman, begitu juga dua gandik yang menyertainya. Pada bagian permukaan pipisan memiliki pahatan-pahatan agar bahan bedak atau ramuan jamu tergerus dengan baik, seksama dan menghasilkan bedak atau jamu yang halus lembut. Kedua pasangan alat produksi bedak dan jamu itu sekarang masih dalam kondisi utuh, sekarang dijaga dan disimpan baik di rumah Sdr. Tito Zeni H. Bila memperhatikan nilai instrinsik maupun ekstrinsiknya kedua batu pipisan dan gandiknya tersebut, termasuk dalam kategori Benda Cagar Budaya, karena telah memiliki umur lebih dari 50 tahun dan memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Setelah beberapa tahun menjalani hukuman pembuangan di Bengkulu, rumah tangga Soekarno dan Inggit Garnasih goyah dan tidak bisa diselamatkan. Soekarno tertarik pada Fatma (Fatmawati) yang akhirnya Soekarno menyampaikan pada Inggit keinginannya menikahi Fatma dengan alasan menginginkan keturunan. Pada waktu itu sebenarnya tidak terbersit ada dalam pikiran Soekarno untuk menceraikan Inggit yang telah mendampinginya dalam perjuangan selama 20 tahun, akan tetapi Inggit tetap berpegang pada pendiriannya tidak mau dimadu. Inggit tidak berhasil menyelamatkan kemelut rumah tangga, akhirnya memutuskan untuk merelakan suaminya yang dikasihi dan yang ia bela mati-matian dalam suka dan dukanya mengarungi perjuangan demi kemerdekaan Bangsa Indonesia, untuk menikah dengan Fatma.
Di usia senjanya Inggit Garnasih hidup dengan tenang, beliau banyak dijadikan tempat bertanya dari berbagai kalangan baik tua ataupun muda. Inggit selalu menasehati para tamunya bahwa dalam menjalankan kehidupan hendaknya selalu membela rakyat dan harus selalu menjaga harkat dan harga diri sebagai bangsa yang besar. Kepada kaum wanita ia selalu berpesan untuk selalu menjadi pendamping suami yang setia, berani dan mandiri.
Beberapa hari setelah meninggalnya Soekarno, di sebuah majalah, ditulis berita tentang harta peninggalan Soekarno, pada waktu itu datang seorang wartawan menanyakan kepada Inggit “Apa yang ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak”. Inggit menjawab: “Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat dan untuk semua keturunan bangsa kita”. Sejenak wartawan terdiam, kemudian kembali bertanya: “Yang saya maksudkan harta pusaka untuk ibu pribadi”. Inggit menjawab: “Kenangan yang tak terlupakan, disimpan di dalam hati, yang akan menemani Ibu masuk ke dalam kubur”.
Kedua jawaban itu sangat tepat, kalau ada harta yang Soekarno tinggalkan, yang pasti adalah kemerdekaan kita semua yang hidup, dan untuk generasi yang akan datang. Jawaban kedua pun sangat tepat, tidak ada orang lain, tidak ada wanita lain, yang memiliki kenangan seindah kenangan Inggit dengan Soekarno.
Di saat menjelang akhir hidupnya, ketika mengalami sakit yang agak parah karena usia lanjut, Inggit Garnasih menunjukan dirinya seorang wanita yang berbudi luhur dan berjiwa besar. Keinginannya untuk bertemu dengan Fatmawati, sedangkan ketika itu istri Soekarno yang lain seperti Hartini dan Ariyati sudah sering mengunjunginya.
Atas prakarsa Ali Sadikin, keinginan Inggit terpenuhi, pada tanggal 7 Februari 1980 terjadilah pertemuan antara seorang ibu dengan seorang yang pernah diakui sebagai anak yang kemudian saling bersaing untuk mendapatkan kasih sayang dari Soekarno. Pertemuan itu sangat mengharukan, keduanya saling berpelukan, dengan menangis Fatmawati meminta maaf, dengan ketulusan dan kebesaran jiwa Inggit Garnasih memaafkannya. Beberapa tahun kemudian Inggit Garnasih wafat, yaitu pada tanggal 13 April 1984 dan dimakamkan di Pemakaman Umum PORIB, tepatnya di Jl. Makam Caringin - Kopo Bandung.

Penulis : Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jabar dan
Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Jabar Banten
Karyawan Disparbud Jawa Barat

BATIK TRADISIONAL


PERLINDUNGAN HAK INTELEKTUAL

MOTIF BATIK TRADISIONAL

Oleh : Eddy Sunarto

Bila kita membaca istilah mega mendung apalagi disertai istilah batik, ingatan kita akan langsung dihubungkan dengan daerah atau masyarakat Cirebon, daerah pesisir utara Jawa Barat. Memang motif ragam hias Mega Mendung ini, masyarakat umum telah mengenal dan tidak bisa pungkiri memang berasal dan milik masyarakat Cirebon. Tetapi suatu kejadian di menjelang Ramadhan dan Indul Fitri 2008 yang lalu, produsen kain di Trusmi, Cirebon kehabisan stok kain yang bercorak mega mendung, semua diborong oleh warga Malaysia. Sebenarnya motif batik mega mendung ini merupakan salah satu dari sekian motif batik tradisional yang ada di daerah Cirebon, tetapi motif batik ini yang sangat digemari oleh turis Malaysia, Jepang atau Eropa yang berkunjung ke Trusmi, Cirebon. Namun dari kejadian tersebut, timbul kekhawatiran dari salah satu pemilik UKM pembuatan sandal batik di Cirebon, dengan menyatakan "Saya sendiri tidak habis pikir mengapa banyak pedagang kain terutama dari Malaysia yang menyerbu Trusmi dan memborong kain batik motif mega mendung? Mungkin karena ada rencana Malaysia yang hendak mematenkan batik Trusmi ini. Sayang sekali".

Itulah kehawatiran salah satu kelompok masyarakat Cirebon sendiri bahkan mungkin masyarakat Jawa Barat dan seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu kita melakukan perlindungan terhadap karya intelektual masyarakat baik karya individual ataupun karya dari komunitas masyarakat (kelompok).

Sebetulnya motif batik tradisional di Cirebon cukup banyak dan bervariasi, seperti Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung, Patran Keris, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten, Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo, dan lain-lain. Lahirnya motif-motif batik tradisional tidak lepas dari rangkaian sejarah lahirnya perbatikan di daerah Cirebon itu sendiri. Pada waktu itu, kegiatan membatik hanya dilakukan di daerah keraton karena batik menjadi simbol status bagi keluarga sultan dan para bangsawan Cirebon. Namun, akibat terjadi peperangan dan perpecahan kekuasaan, perajin batik keraton pun akhirnya dipulangkan ke daerah masing-masing. Para perajin batik tradisional di Cirebon hingga kini tersebar di beberapa titik, yaitu di sekitar Desa Trusmi, seperti Desa Gamel, Kaliwulu, Wotgali dan Kalitengah. Salah satu sentra batik tradisional yang pesat perkembangannya hingga kini adalah di daerah Trusmi dan sekitarnya, sekitar 4 km sebelah barat dari Kota Cirebon, jalan menuju Bandung.

Memang, bila kita telusuri lahirnya seni batik di Cirebon dan mungkin di nusantara tidak terlepas dari kesejarahan penyebaran Islam di Nusantara, sekitar abad ke 17-19 M. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya di P. Jawa yaitu akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920. Wilayah Cirebon yang merupakan pelabuhan besar pun menjadi salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan batik. Adanya akulturasi kepercayaan, seni, dan budaya yang dibawa serta para pedagang masa lampau memberi warna baru yang kemudian melahirkan konsep batik pesisiran. Suntikan pengaruh oriental dari saudagar asal China pun tak kalah menambah semarak batik Cirebon. Mencipta motif baru, layaknya binatang burung hong (phonik), kirin maupun naga, serta penggunaan kombinasi warna yang cenderung lebih cerah.

Sifat khas dan keunikan batik-batik dari suatu daerah tidak bisa dikatakan batik yang satu lebih baik dari daerah lainnya. Keunikan motif serta corak yang dihasilkan dari batik-batik di berbagai daerah merupakan kekuatan dan kekayaan yang sangat luar biasa, khususnya bagi kebudayaan batik Indonesia termasuk di Jawa Barat. Tiap-tiap daerah memiliki desain serta motif-motif yang khas dengan penamaan motif yang menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Misalnya saja motif batik dari Aceh ada Pintu Aceh, Cakra Doenya, Bungong Jeumpa. Dari Riau ada Itik Pulang Petang, Kuntum Bersanding, Awan Larat dan Tabir. Batik dari Jawa diantaranya Jelaprang (Pekalongan), Sida Mukti, Sida Luhur (Solo), dll. Kekayaan desain motif-motif batik di Jawa Barat selain di Cirebon, yaitu Indramayu (Paoman), kemudian ke arah bagian barat dan selatan terdapat Kabupaten Ciamis, Kabupaten dan Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Walaupun masih dalam satu propinsi dan kultur budaya yang sama (budaya Sunda), namun bisa kita temui adanya perbedaan motif dan ragam hias batik yang jauh berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Perbedaan itu dipengaruhi oleh kultur budaya dan tingkat keahlian dari para perajin batiknya. Selain itu juga bahan-bahan yang digunakan untuk membuat batik relatif sama baik dari bentuk canting, bentuk cap maupun jenis lilinnya. Namun ketika proses produksi berjalan ada kalanya kondisi unsur air tanah dengan kualitas PH yang berbeda-beda bisa mempengaruhi hasil pewarnaan akhir. Demikian pula dengan sifat kesabaran dan keuletan perajin batik di tiap-tiap daerah, juga akan bisa mempengaruhi kualitas akhir batik yang dihasilkannya.

Keragaman motif-motif batik terutama pada motif tradisional memiliki nilai-nilai budaya yang luhur yang perlu terus kita ungkap. Nilai-nilai budaya tersebut dalam bentuk intangible atau nilai-nilai tak benda, artinya nilai-nilai yang tidak bisa diraba atau dilihat, seperti pengetahuan (local genius), perilaku, bahasa, kepercayaan, mata pencaharian, sejarah, cerita rakyat, norma, hukum adat, agama, dan begitu juga ritus. Begitu saratnya nilai-nilai budaya yang menyertai sebuah karya budaya batik tradisional, karena setiap hasil karya cipta tersebut mengandung simbol-simbol budaya dari suatu komunitas masyarakat pendukungnya. Disamping nilai-niliai budaya yang bersifat intangible, dari produk budaya tersebut juga mempunyai nilai tangible yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pendukungnya, yaitu terutama para perajin batik tersebut di suatu daerah.

Tetapi yang perlu kita perhatikan, bahwa hasil karya cipta manusia berupa batik tradisional ini cenderung merupakan hasil karya suatu komunitas masyarakat tertentu dan jarang sekali hasil karya individual (perorangan). Hal ini dapat dimaklumi, bahwa masyarakat Indonesia cenderung sosial, dan para pendahulu kita setiap menciptakan suatu karya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi suatu bentuk pengabdian kepada penguasa (raja atau sultan). Apalagi para pendahulu kita ini tidak memikirkan untuk duniawi semata. Bahkan mereka cenderung memegang teguh pada tatanan tradisional, yaitu bahwa seseorang yang ingin sukses dalam hidupnya, ia harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau rasa manunggal, yakni menyatukan alam makro dan alam mikro. Sehingga bentuk pengabdian bukan saja pada tuhan, manusia (termasuk penguasa) tetapi juga pada alam. Hal ini bila tercipta bentuk pengabdian akan tercipta keseimbangan, kelanggengan, keamanan dan kesejahteraan hidup yang abadi.

Sedangkan produk hukum yang ada baik di dalam negeri maupun internasional masih dalam perlindungan hasil karya intelektual yang bersifat individual (perseorangan) dan bendawi. Untuk itulah Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk melakukan perlindungan hasil karya intelektual yang berupa hasil karya komunitas masyarakat dan intangible (takbenda), disamping itu juga hasil karya perorangan dan tangible (bendawi). Sedangkan di tataran internasional, UNESCO dalam sidang ke-32 di Paris, 29 September-17 Oktober 2003 telah berhasil menetapkan bahwa setiap negara seharusnya melakukan perlindungan terhadap warisan budaya takbenda dengan semangat kerja sama dan saling membantu. Untuk itulah dalam upaya perlindungan hasil karya intelektual komunitas ini, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan produk hukum yang menjadi salah satu landasan atau payung hukum berupa Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2007 tentang tentang Pengesahan Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda).

Selanjutnya pemerintah telah berhasil menyusun Rancangan Undang-undang Perlindungan Hak Karya Intelektual berupa karya komunitas masyarakat atau sebuah hasil ekspresi tradisional. Rancangan Undang-undang tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 10 UU RI No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal 10 ini menjelaskan bahwa Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Selanjutnya Negara memegang Hak Cipta atas foklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Sehingga untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan tersebut bagi orang yang bukan Warga Negara Indonesia harus terlebih dahulu harus mendapat izin dari instansi yang terkait masalah tersebut yang tentunya yang ada di Indonesia.

Dengan dasar Pasal 10 inilah Pemerintah RI telah mendaftarkan wayang-wayang dari seluruh Indonesia ke UNESCO sebagai warisan dunia (world heritage) dari Indonesia. Sedang batik-batik dari seluruh nusantara (termasuk dari Cirebon dan kabupaten dan kota lainnya di Jawa Barat) telah diidentifikasi dalam sebuah buku untuk didaftarkan dan mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan dunia (world heritage) dari Indonesia, dirintis oleh Pemerintah bersama Kadin dan Yayasan Batik Indonesia. Dengan pengakuan itu, batik Indonesia tidak bisa diklaim negara lain.

Perjuangan perlindungan untuk batik tradsional ini tidak berhenti sampai di situ, Yayasan Batik Indonesia dan Depperin meluncurkan penanda batik (batik mark) ”Batik Indonesia” yang di pertegas dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 73/M-IND/PER/9/2007. Sertifikasi ini sekaligus sebagai langkah batik tidak bisa diklaim oleh Negara lain, tetapi hanya sebagai milik Indonesia.

Jawa Barat sendiri mulai tahun 2008 melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (sekarang berganti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) telah merintis pendataan dan pengusulannya karya intelektual benda budaya dan hasil budaya baik hasil cipta perorangan maupun kelompok, yaitu dengan membentuk suatu Tim “Gugus HAKI” Jawa Barat. Mudah-mudahan ini akan segera terwujud untuk mendapat perlindungan dan pengakuan kekayaan intelektual benda dan hasil budaya masyarakat Jawa Barat baik secara nasional maupun internasional.

Penulis, anggota Tim Gugus HAKI Jabar 2008 dan anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Jabar - Banten, Karyawan Disparbud Jabar